Category Archives: Politik

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Beredar Melalui PT Pos Indonesia dan Para Penyelenggara Jasa Titipan

Siaran Pers No. 130/PIH/KOMINFO/6/2009

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Beredar Melalui PT Pos Indonesia dan Para Penyelenggara Jasa Titipan

(Jakarta, 12 Juni 2009). Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar dan Kepala PPATK ( Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Yunus Husein pada tanggal 12 Juni 2009 di kantor Ditjen Postel Departemen Kominfo telah menanda-tangani Nota Kesepahaman tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah Ditjen postel dan PPATK dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dalam kaitannya dengan PT. Pos Indonesia dan Penyelenggara Jasa Titipan. Ruang lingkup kerjasama dalam Nota Kesepahaman ini meliputi: tukar menukar informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing instansi; bantuan PPATK kepada Ditjen Postel dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pos khususnya pengawasan layanan lalu lintas uang termasuk menyusun regulasi teknis mengenai penerapan prinsip mengenai nasabah layanan pos; bantuan Ditjen Postel kepada PPATK dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; penugasan pejabat/pegawai Ditjen Postel di PPATK; sosialisasi rezim anti pencucian uang; dan/atau p endidikan dan pelatihan.

Di dalam Nota Kesepahaman tersebut juga disebutkan, bahwa Ditjen Postel dan PPATK melakukan tukar menukar informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing instansi. Pertukaran informasi tersebut dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pimpinan instansi atau pejabat yang ditunjuk. Informasi yang diberikan oleh Ditjen Postel kepada PPATK sebagai berikut: hasil pengawasan terhadap PT. Pos Indonesia dan/atau Penyelenggara Jasa Titipan dalam menyelenggarakan jasa layanan pos; dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Ditjen Postel di bidang pos yang diperlukan oleh PPATK dalam rangka melakukan analisis laporan atau pemenuhan permintaan informasi dari Financial Intelegence Unit (FIU) negara lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang sesuai permintaan PPATK. Sedangkan informasi yang diberikan oleh PPATK kepada Ditjen Postel sebagai berikut: dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan transaksi keuangan melalui PT. Pos Indonesia dan/atau Penyelenggara Jasa Titipan yang berada di bawah pembinaan Ditjen Postel; dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang Ditjen Postel di bidang pos.

Pihak yang mengajukan permintaan informasi wajib menjelaskan tujuan penggunaan informasi tersebut. Informasi yang diberikan tersebut bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam surat permintaan informasi. Di samping itu, informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan/diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi informasi. Pihak penerima informasi bertanggung jawab atas kerahasiaan, penggunaan dan keamanan informasi yang telah diberikan. Dalam rangka memantau kepatuhan terhadap pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaporan transaksi keuangan mencurigakan dan pelaporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai, PPATK melakukan audit kepatuhan terhadap PT. Pos Indonesia dan/atau Penyelenggara Jasa Titipan yang berada di bawah pembinaan Ditjen Postel. Pelaksanaan audit kepatuhan tersebut dilakukan dengan cara menyampaikan terlebih dahulu pemberitahuan secara tertulis kepada Ditjen Postel. Dalam hal terdapat temuan audit kepatuhan tersebut, maka PPATK dan Ditjen Postel melakukan audit kepatuhan secara bersama.

Sebagai informasi, pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut dapat diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU) mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga sentral yang mengkoordinasikan pelaksanaan Undang-undang dimaksud guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. PPATK adalah lembaga yang independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Keberadaan PPATK sebagai suatu lembaga intelijen di bidang keuangan, yang secara internasional nama generiknya adalah Financial Intelligence Unit (FIU) memiliki tugas dan kewenangan khusus.

Kewenangan PPATK adalah meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; dan memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai. Berdasarkan UU TPPU dan Keppres No. 82 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kewenangan PPATK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, lembaga intelijen di bidang keuangan (FIU) Indonesia ini dapat melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik secara nasional maupun internasional. Kerjasama dengan instansi pemerintah di dalam negeri terutama dilakukan agar rezim anti pencucian uang di Indonesia dapat diterapkan secara efektif sehingga PPATK dapat membantu upaya penegakan hukum dan menjaga stabilitas dan integritas sistem keuangan.

Dengan semakin tumbuh berkembangnya dinamika pembangunan serta menyebarnya kegiatan-kegiatan dunia usaha di seluruh wilayah tanah air, penyelenggaraan pos utamanya layanan transasksi keuangan merupakan salah satu sarana yang efektif untuk pengiriman uang. PT. Pos Indonesia dan Penyelenggara Jasa Titipan (Perjastip) sebagai lembaga keuangan non Bank, dimungkinkan untuk disalahgunakan sebagai sarana oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul uang yang diperoleh dari hasil kejahatan sehingga dapat digunakan untuk melakukan tindak kejahatan lainnya diantaranya terorisme. Di tjen Postel yang merupakan otoritas regulasi teknis bagi PT. Pos Indonesia dan Perusahaan Jasa Titipan (Perjastip) dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di sektor lembaga keuangan non bank memandang perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antara Ditjen Postel dan PPATK, dengan tetap berdasarkan azas adanya permisahan tanggung jawab, yaitu pengaturan dan pengawasan prinsip menenal nabah oleh Dtjen Postel dan laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai oleh PPATK.

Indonesia Type Approval

Indonesia: Accountability Needed for Murder of Rights Defender

December 29, 2008

With the right personnel and the backing of Indonesia’s leadership, the police rose to the challenge and arrested a senior official thought to be untouchable. Now that some witnesses have suddenly changed their stories, all eyes turn to the judges to see if they can withstand the pressure of powerful forces in the security services.
Brad Adams, Asia director of Human Rights Watch
Related Materials:
Indonesia: A Year Later, Munir’s Killers Evade Justice
Indonesia: No Justice Two Years After Munir’s Death
Indonesia: Acquittal Bolsters Impunity for Munir’s Murder
Indonesia: Rights Champion Dies

(New York, December 29, 2008) – The verdict expected on December 31, 2008, in the trial of a senior intelligence official charged with the murder of the Indonesian human rights lawyer Munir is an important test of the independence of the Indonesian judicial system, Human Rights First and Human Rights Watch said today.

Retired Major General Muchdi Purwopranjono, a former deputy at the State Intelligence Agency (known as Badan Intelijen Negara, or BIN) and the former head of the army’s abusive special forces unit, Kopassus, has been charged with premeditated murder in the killing of Munir. Munir was poisoned with arsenic, leading to his death on a commercial airliner en route to the Netherlands in September 2004. Two men have been convicted in connection with the killing, but the trial of Muchdi is the first related to planning and ordering the crime. However, since the fall of Soeharto in 1998, no Indonesian general has been successfully prosecuted for a human rights abuse.

Human Rights Watch and Human Rights First have followed the five-month trial closely, and representatives have observed several sessions.

“If Indonesia is to move beyond its authoritarian past, the justice system must show that generals are not above the law,” said Matt Easton, director of the Human Rights Defenders Program at Human Rights First. “Investigators, prosecutors, and the courts must be ready to go where the evidence and the law lead them.”

Human Rights Watch and Human Rights First said that the trial of a senior security official is an important event in Indonesia, given the long-term lack of accountability by members of the armed forces and intelligence services, dating back to the Soeharto era.

A presidential commission, a reinvigorated police investigation, and the murder trial of a pilot named Pollycarpus Budihari Priyanto uncovered evidence tying the murder to BIN. Based on this evidence, which includes phone records, documents, and sworn statements by intelligence agents, Muchdi was arrested in June. His trial began in August.
Baca lebih lanjut

Kembali Ke fitrah Proklamasi menuju kemandirian bangsa

Di bawah ini ada beberapa tulisan dari Tan Malak yang terus mengobarkan semangan kemerdekaan 100%, semoga ini bisa menjadi semangat bagi kita untuk mewujudkan kemandirian bangsa.

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
Catatan Pinggir Goenawan Mohamad

DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI

Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi

Si Mata Nyalang di Balai Societeit

Gerilya Dua Sekawan

Kerani yang Baik Hati

Naskah dari Rawajati

Bolsyewik yang Terbuang

Peniup Suling bagi Anak Kuli

Bertemu Para Bolsyewik Tua

Dukungan untuk Pan-Islamisme

Gerilya di Tanah Sun Man

Penggagas Awal Republik Indonesia

No Le Toqueis, Jawa!

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku

Macan dari Lembah Suliki

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Sobatmu Selalu, Ibrahim

Trio Minang Bersimpang Jalan

Perempuan di Hati Macan

Wawancara Setelah Mati

Persinggahan Terakhir Lelaki dan Bukunya

Misteri Mayor Psikopat

KPU membuka ruang manipulasi Data Bagi Calon DPD

Dalam era reformasi ini keterbukaan informasi menjadi hal yang utama, sehingga masyarakat bisa memantau langsung perkembangan demokrasi di indonesia. Untuk itu sarana media masih menjadi tonggak utama dalam penyebaran informasi,karena akses informasi ini sangant di butuhkan masyarakat dalam mengiringi proses demokrasi yang sedang berjalan.

Pemilu 2009 sudah di depan mata, KPU dan dewan pers telah mengggagas aturan main kampanye melalui media, sehingga petunjuk pelaksana dan petunjuk teknisnya dapat di jalankan oleh para kandidiat. Yang menjadi pertanyyan buat saya adalah, kenapa KPU tidak memasukkan syarat bagi para calon DPD untuk mempublikasikan daftar nama calon pendukungnya di media lokal atau media nasional.

Karena ini rentan akan manipulasi data para pendukung yang di daftarkan oleh calon DPD, siapa yang bisa menjamin kalau dukungan yang berupa KTP itu di ketahui oleh oleh pemilik KTP tersebut. Karena banyak beredar issue penjualan foto copy KTP pada saat persyaratan di buka bagi calon DPD, dan ini tidak di ketahui oleh pemilik KTP tersebut.

Untuk membuktikan isssue tersbut dan sebagai bentuk keterbukaan informasi, seharusnya KPU mengantisipai hal tersebut dengan memasukkan syarat bagi para calon DPD untuk mempublikasikan  daftar para pendukungnya melalui media lokal atau media nasional. Sehingga apabila ada manipulasi data, maka dengan sendirinya masyarakat yang KTP nya di daftarkan sebagai pendukung tetapi mereka tidak mengetahui kalau mereka di daftarkan sebagai pendukung akan melapor ke Bawaslu.

Di sini kemudian peran masyarakat dalam proses demokrasi tidak termarginalkan, dan kesadaran masyarakat untuk menjaga proses demokrasi di indonesia akan meningkat.

Sudah saatnya  hak politik rakyat tidak lagi di marginalkan

Pasar Bebas tidak menyelesaikan Kemiskinan di Indonesia

Guru Besar Fakultas Ekonomi Indonesia, Sri Edi Swasono mengatakan pasar bebas di Indonesia saat ini tidak mendorong penyelesaian masalah kemiskinan. Sebaliknya, pasar bebas telah menggusur dan memperparah kehidupan kaum miskin.

Hal ini itu disampaikan dalam pidatonya dalam pembukaan Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal di Gedung Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, Selasa 5 Agustus 2008.

Tergusurnya kaum miskin, menurutnya, akibat kebijakan ekonomi Indonesia yang pro ekonomi pasar bebas. Pemikiran ekonomi pasar bebas berkembang pada tahun 1723 hingga 1790. Penggagasnya adalah Adam Smith. Gagasan yang mendasari pasar bebas adalah individualisme dan persaingan.

“Kemiskinan tidak bisa diatasi oleh pasar,” katanya.

Sri Edi Swasono berbicara lugas tentang Adam Smith dan teori ekonomi neoklasiknya. Ia juga memaparkan mengapa sistem ekonomi tersebut tak cocok sekaligus bahaya bagi negara seperti Indonesia. Namun, menurutnya, Indonesia sudah terlanjur terbawa arus pasar bebas. Akibatnya, rakyat terjerat dalam kondisi kemiskinan yang akut.

“Indonesia saat ini masih percaya jika ekonomi tumbuh maka akan menyerap pengangguran,” katanya.

Ia melihat para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia saat ini masih menganggap mekanisme pasar bebas adalah solusi untuk mensejahterakan warganya. Padahal, menurutnya, mekanisme ini justru memberikan kenyataan yang berbeda. Warga semakin kehilangan haknya untuk mendapatkan akses ekonomi, pendidikan hingga kesehatan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sri tidak menjelaskan secara rinci mengapa dan bagaimana teori ekonomi neo klasik bisa berkembang di Indonesia. Siapa saja pelaku yang mendorong dan terlibat untuk menerapkan konsep pasar ini. Siapa yang menikmatinya? Apa langkah solusi strategisnya dan bagaimana menghadapi krisis kemiskinan saat ini?

Konferensi ini akan berlangsung hingga Kamis, 7 Agustus di Universitas Indonesia, Depok. Acara tersebut melibatkan sembilan lembaga masyarakat dan pendidikan seperti, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Praxis, Reform Institute, Jaringan Kerja Budaya (JKB), Trade Union Rights Centre (TURC), Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid).

DENGAN MUSYAWARAH BUKAN DENGAN DEMOKRASI

Dengan Musyawarah Bukan Dengan Demokrasi Membangun Kehidupan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Oleh: Agus Kodri

MUKADDIMAH
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari Bangsa Indonesia yang lahir dan merdeka terlebih dahulu. Bangsa Indonesia, yang terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-Orang Indonesia Asli (OIA), merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian, Bangsa Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat berdasarkan Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945. Maknanya bahwa Bangsa Indonesia adalah merupakan pondasi NKRI.

Masalah bangsa yang sedang dialami dewasa ini telah berpengaruh langsung terhadap perusakan sendi-sendi kehidupan NKRI. Sebagai dampaknya, NKRI tidak lagi mampu secara penuh melindungi segenap Bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Masalah bangsa tersebut telah terjadi karena Bangsa Indonesia di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegaranya tidak lagi memperkuat hubungan tali silaturahim dan tolong-menolong sesama anak bangsa sebagai usaha memperkokoh pondasi NKRI melalui proses musyawarah-mufakat. Sebagaimana kita ketahui, di dalam musyawarah hubungan tali silaturahim dan jiwa tolong-menolong akan terbentuk semakin kuat. Hal ini terbukti dari sejarah bahwa Bangsa Indonesia telah terlahir, merdeka dan membentuk NKRI serta menetapkan Pancasila sebagai dasar Indonesia merdeka melalui proses musyawarah-mufakat.

Tetapi, musyawarah-mufakat telah ditinggalkan dan digantikan oleh demokrasi di dalam usaha mengisi dan melanjutkan perjuangan pergerakan Indonesia Merdeka. Hubungan tali silaturahim dan jiwa tolong-menolong telah tumbuh semakin lemah dan memburuk. Sehingga, kehidupan Bangsa dan NKRI telah memburuk dan bermasalah hingga hari ini. Inilah krisis multidimensi.

KANDUNGAN

Musyawarah dan demokrasi adalah merupakan dua metoda penyelesaian masalah kehidupan dunia yang berbeda. Musyawarah menghasilkan suatu keputusan yang disebut mufakat. Sedangkan, demokrasi menghasilkan suatu keputusan yang disebut penetapan pihak yang memenangkan pemilihan yang dilaksanakan.

Mufakat sebagai hasil keputusan musyawarah merupakan hasil dari suatu proses pengajuan dasar-dasar pemikiran pemecahan masalah yang disepakati dan ditetapkan secara bersama di dalam suatu Lembaga/Majelis terhadap suatu persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, proses demokrasi selalu menetapkan pihak pemenang melalui penghitungan suara sebagai dasar keputusan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi kepanitiaan yang melaksanakan pemilihan.

Oleh karena itu, proses musyawarah adalah lebih cenderung pada penggunaan hak bicara bukan hak suara. Sehingga, musyawarah akan lebih mengandalkan kepada kemampuan keilmuan seseorang atas persoalan yang akan dipecahkan, dan prosesnya akan mencerdaskan hadirin yang hadir terlibat.

Adapun proses demokrasi adalah lebih cenderung menggunakan hak suara daripada hak bicara. Sehingga, proses ini akan lebih ditentukan oleh kekuatan ikatan primordial seseorang terhadap seseorang baik secara individu maupun secara kelompok atau organisasi. Sehingga, transfer ilmu pengetahuan sebagai suatu proses pencerdasan bangsa akan sangat lemah terjadi.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa proses musyawarah akan membentuk seseorang lebih menjadi pemimpin, sedangkan proses demokrasi lebih cenderung membentuk seseorang menjadi penguasa. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman bahwa hanya seseorang yang memahami sejarah dan masa depan kehidupan Bangsa dan Negara Republk Indonesia yang layak ditetapkan untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Ini hasil dari proses musyawarah. Tetapi, proses demokrasi lebih memaksakan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu tanpa melihat kemampuan atau kapasitas keilmuan orang yang dicalonkan tersebut.

PENUTUP
Sejarah menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia dan NKRI telah terlahir dan terbentuk melalui proses musyawarah-mufakat yang dilaksanakan oleh Bapak-bapak pendiri Republik Indonesia. Oleh karena itu, hanya dengan Musyawarah-Mufakat kehidupan Bangsa dan NKRI dapat dibangun dan dikembangkan agar kehendak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-Orang Indonesia Asli dapat terlaksana.

Tabel: Perbedaan Musyawarah dengan Demokrasi

No.

Dasar Penilaian

Metoda

Musyawarah

Demokrasi

1

Keyakinan Membangun tali silaturahim, kepemimpinan, dan memperkuat jiwa tolong menolong (Ali Imran :159 dan Asy Syuuraa) Membangun kekuasaan dari suatu kekuatan yang dapat diatur dan diundi (Al Hajj: 73, 74 dan As Shaaffaat 140, 141, 143)

2

Kebenaran Universal Metoda Pengambilan Keputusan berdasarkan Hidayah Metoda Pengambilan Keputusan berdasarkan Nafsu (undian)

3

Filosofi

Adanya Keterlibatan Allah di dalam membuat suatu keputusan Usaha manusialah yang menentukan suatu keputusan dibuat

4

Teori Pengembangan infrastruktur yang mendekatkan kebenaran relatif terhadap kebenaran yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga Pengembangan infrastruktur untuk membangun kebenaran temporer atau relatif tanpa memperhatikan adanya kebenaran absolut yang berlaku

5

Model Pengembangan Majelis/Lembaga Bangsa Pembentukan Organisasi Kepanitiaan

6

Strategi Penetapan komitmen/ kesepakatan/kebulatan Pengumpulan jumlah suara/pendukung

7

Taktik Pengumpulan perbedaan pemikiran/pendapat Penghitungan jumlah suara/pendukung

8

Program Pengembangan pola kepemimpinan dan pencerdasan kehidupan bangsa Pengembangan afiliasi kekuatan bangsa untuk kekuasaan kelompok-kelompok elit

9

Kurikulum Pengembangan kedaulatan rakyat melalui institusi kebangsaan yang menentukan institusi kenegaraan Pengembangan kekuasaan dan kekuatan melalui institusi negara dengan melemahkan institusi kebangsaan

10

Pembiayaan Kolektif Rakyat dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Rakyat sebagai dasar ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kelompok Elit/Individu yang menetapkan besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tanpa penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Rakyat terlebih dahulu

PANCASILA SEBAGAI DASAR INDONESIA MERDEKA

PANCASILA

Amanat Sumpah Pemuda, yang berkaitan dengan pembentukan komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup orang-orang Indonesia Asli, telah menjadi sifatnya orang-orang Bangsa Indonesia Asli. Sifat Bangsa Indonesia ini telah mendasari tercapainya Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang Bangsa Indonesia Asli adalah terdiri dari orang-orang Indonesia Asli (Pribumi) dan bangsa lain yang telah tinggal di Indonesia sebelum NKRI terbentuk dan telah sepakat memperjuangkan tegaknya sifat Bangsa Indonesia tersebut.

Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar Indonesia Merdeka adalah merupakan sifatnya Bangsa Indonesia. Maknanya, setiap individu Bangsa Indonesia di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendasarkan pada pengejawantahan Pancasila secara utuh.

Peranannya sebagai sifat bangsa, Pancasila harus berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dan akan diberlakukan di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena itu, aturan-aturan yang dibangun dan akan ditetapkan sebagai hukum harus memperkuat komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup orang-orang Indonesia Asli.

Dikarenakan fungsinya sebagai sumber dari segala sumber hukum di wilayah NKRI, Pancasila akan menjadi keyakinan standar Bangsa Indonesia. Sehingga, Pancasila akan menjadi falsafah bangsa, karena definisi falsafah bangsa adalah keyakinan standar bangsa yang distandarkan dari berbagai macam keyakinan yang ada di dalam kehidupan bangsa tersebut dengan hukum yang pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga.

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila adalah merupakan sikap keberpihakan Bangsa Indonesia di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mendekatkan kebenaran relatif terhadap kebenaran absolutnya. Kebenaran relatif ini adalah suatu kebenaran yang berasal dari proses ikhtiar atas pekerjaan yang dikerjakan. Sedangkan, kebenaran absolut adalah kebenaran yang telah ditetapkan dan berasal dari Allah SWT.

Oleh karena itu, setiap individu Bangsa Indonesia harus memiliki sikap keberpihakan kepada:

  1. Tuhan Yang Maha Esa;

  2. Manusia yang adil dan beradab;

  3. Usaha untuk menjaga Persatuan Indonesia;

  4. Rakyat yang dipimpin oleh hikmat (orang-orang yang selalu menambah ilmu pengetahuannya) dalam kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan (Lembaga Bangsa/Lembaga Negara); sehingga

  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan dapat tercapai

Sikap keberpihakan tersebut di atas harus dapat terukur dalam suatu ukuran yang pasti sebagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia, yang disebut dimensi Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa adalah merupakan suatu standar sifat Bangsa Indonesia. Bila standar ini menstandarkan budaya bangsa, maka diperoleh standar nilai budaya bangsa yang disebut Kreativisme.

Kemudian, Kreativisme menghasilkan suatu standar nilai aturan dasar bangsa yang disebut Gotong Royong. Mufakat sebagai standar nilai interaksi sosial akan diperoleh dari pola interaksi sosial masyarakat yang distandarkan oleh Gotong Royong. Sehingga, standar nilai dinamika politik bangsa yang akan berkembang disebut Musyawarah. Kondisi ini akan diperoleh bilamana dinamika politik bangsa yang terbentuk distandarkan oleh mufakat.

Lumbung sebagai standar nilai ekonomi bangsa akan terbangun dan berkembang dari pembangunan ekonomi bangsa yang lebih menekankan pada Musyawarah. Oleh karena itu, Lumbung akan berfungsi sebagai tempat rakyat bermusyawarah untuk mufakat di dalam menghitung dan mendistribusikan aset bangsa yang dimiliki, dibangun, dan dikembangkan di dalam menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada akhirnya, sistem Tanah Adat sebagai standar nilai pengembangan lingkungan akan menentukan sistem pola distribusi pembangunan Lumbung yang akan dibangun. Sehingga, perubahan lingkungan yang terjadi tidak akan bertentangan dengan budaya setempat.

Oleh karena itu, Pancasila sebagai dimensi akan terukur dalam Kreativisme, Gotong Royong, Mufakat, Musyawarah, Lumbung, dan Sistem Tanah Adat. Ukuran-ukuran tersebut akan menentukan Sistem Tata Ruang dari tingkat lokal hingga nasional.

Sehingga, Masyarakat Pancasilais sebagai Masyarakat Kreatif (Creative Society) akan terbangun dari bawah melalui para Pemimpin-Pemimpin yang akan selalu menambah ilmu pengetahuannya dari tingkat lokal hingga tingkat nasional. Maknanya, penegakan kedaulatan rakyat akan benar-benar terjadi dan terealisasi selaras dengan budaya bangsa.

KPU & KPI Awasi Media Penyiaran Kampanye

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mengawasi kampanye Pemilu 2009 di berbagai jenis media. Dewan Pers juga turut serta mengawasi.
Pengawasan kampanye bersama itu dilakukan dalam penandatanganan nota memorandum of understanding (MoU) tentang Pengawasan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum yang dilakukan melalui media penyiaran radio dan televisi, Selasa 1 Juli 2008 kemarin.

“Ini adalah yang keduakalinya, setelah pada kampanye Pemilu 2004 lalu KPI juga bekerjasama dengan KPU dalam bentuk peraturan bersama. Kami berharap ini akan mendorong kesuksesan Pemilu serta adanya siaran kampanye yang sesuai aturan,” ucap Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja dalam keterangan tertulis KPI, Rabu (2/7/2008).

Sementara menurut Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari, MoU ini dilakukan karena kampanye pemilu yang dilakukan melalui media massa bersinggungan dengan tiga UU sekaligus, yaitu UU Pemilu, UU Penyiaran, dan UU Pers.

“Karena itu, MoU ini menghubungkan semua komponen terkait yang diatur oleh ketiga UU itu, termasuk pemberian sanksi terhadap pelanggaran kampanye,” jelas Hafiz.

Menurut jadwal KPU, kampanye pemilu akan mulai berlangsung selama sembilan bulan, dari 8 Juli 2008 sampai 1 April 2009. “Mulai 8 Juli semua bentuk kampanye sudah bisa dilakukan, kecuali bentuk Rapat Umum yang baru bisa dilakukan pada 21 hari sebelum masa tenang,”tutur Hafiz.

Sedangkan Dewan Pers melalui wakil ketuanya Leo Batubara, yang juga menandatangani MoU dengan KPU menjelaskanadanya perbedaan kewenangan dan area kerjasama antara KPU, KPI, dan Dewan Pers.

Pembagiannya, jelas Leo, Dewan Pers bertugas mengawasi media cetak, KPI mengawasi media elektronik (TV dan Radio), dan KPU mengawasi peserta Pemilu. “Jadi, jangan salah mengadu!” ujar Leo.

“Agar kampanye mendatang lebih menggunakan media massa, tidak lagi pengerahan massa,” tandas dia

Kampanye Melalui Internet

Oleh Anton Timur, S.T.
SEIRING kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kini sebagian partai politik (parpol) dan calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam Pemilu 2009 memanfaatkan internet sebagai ajang kampanye. Mengapa internet? Mungkin karena internet bisa dianggap sebagai media penyebaran kepada umum, seperti halnya brosur dan selebaran. Bisa jadi, parpol dan capres enggan dibilang gaptek (gagap teknologi). Namun, parpol-parpol dan para capres tampaknya mulai menyadari bahwa internet merupakan media yang efektif untuk mendekati pemilih muda berusia 17 – 30 tahun, yang kini akrab dengan dunia internet.
Dari 24 parpol peserta pemilu 2004, belum semuanya memiliki situs web (website) resmi di internet. Padahal, website suatu parpol bisa dijadikan media untuk menyebarkan informasi tentang program partai yang dikampanyekan, jadwal dan kegiatan kampanye per hari, termasuk kesempatan tanya jawab antara pengguna internet (netter) dan juru kampanye (jurkam) atau para pengurus parpol.
Dengan model pencoblosan kartu suara pemilu seperti sekarang ini, website bahkan bisa lebih mengenalkan massa pemilih dengan para calon anggota legistalif (caleg) dan capres, melalui penayangan gambar (diam maupun bergerak) sang caleg atau capres, selama 24 jam non stop. Penayangan gambar seperti ini sebenarnya juga bisa dilakukan melalui media lainnya, misalnya televisi, namun relatif lebih mahal.
Jika membicarakan kampanye, yang segera terlintas di kepala kita adalah pengerahan massa, pawai atau arak-arakan kendaraaan bermotor dengan knalpot yang dimodifikasi sehingga memekakkan telinga. Lebih parah lagi, kerap kali diikuti dengan bentrokan antarmassa pendukung. Kampanye konvensional, melalui rapat umum dan pertemuan umum, memang cenderung rawan dan menimbulkan rasa kurang aman bagi masyarakat.
Hal ini tidak akan terjadi pada kampanye di internet. Di internet, kampanye bisa lebih aman dan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, sebab massa yang “menghadiri” website sebagai lokasi kampanye, tak akan bertatap muka atau bertemu secara fisik, melainkan hanya berinteraksi dengan sang jurkam dari depan layar komputer atau perangkat lain yang bisa mengakses internet.
Bagi KPU sendiri, internet bisa dijadikan salah satu media alternatif untuk menyosialisasikan Pemilu 2004. Sebenarnya KPU telah memiliki situs yang lumayan representatif (www.kpu.go.id), namun menu dan informasi yang disajikan terlalu “kaku” dan searah, sehingga terasa kurang dekat dengan netter (user friendly). Pertanyaan dari pengunjung situs tidak bisa dijawab seketika, sehingga tidak interaktif dan terkesan birokratis.
Padahal KPU memiliki Divisi Pendidikan dan Informasi Pemilu, yang seharusnya bisa mengoptimalkan websitenya untuk mendidik calon pemilih. Misalnya menjelaskan dengan lebih mudah apa yang harus dicoblos oleh pemilih, kenapa sebuah surat suara menjadi tidak sah, dan lain sebagainya. Apalagi website KPU jangkauannya ke seluruh dunia yang terhubung dengan internet, sehingga biaya sosialisasi untuk calon pemilih di luar negeri menjadi lebih murah. Tak perlu lagi anggota KPU menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ongkos perjalanan ke luar negeri dengan alasan mengadakan sosialisasi Pemilu 2004 bagi calon pemilih yang berada di sana.
Isu menarik menyangkut kampanye di internet adalah efektivitas internet dalam mengajak pemilih untuk mengikuti anjuran parpol agar memilih salah satu caleg atau capresnya. Beberapa pihak masih menganggap internet sebagai media komunikasi antarpersonal, bukan media komunikasi massa. Oleh karena itu, beberapa partai malah sama sekali tidak mengandalkan penggunaan internet untuk menyebarkan berbagai program kerja yang akan dikampanyekan. Mereka masih akan tetap mengandalkan bentuk-bentuk kampanye seperti pada umumnya (konvensional). Alasannya, tidak ada sentuhan emosional antara penyebar informasi dan pengguna internet, karena kalimat-kalimat yang tersaji seperti di media cetak.
Alasan semacam ini jelas kurang tepat, sebab kampanye lewat internet tak hanya dapat dilakukan dengan menyajikan website saja, yang relatif statis dan komunikasinya satu arah. Perkembangan aplikasi di internet yang sangat pesat memungkinkan kampanye dilakukan secara dua arah, bahkan interaktif. Contoh paling mudah adalah pemanfaatan chatting yang kini digandrungi anak muda yang gemar internet. Dengan chatting, tanya jawab bisa dilakukan berbalasan pada saat itu juga (real time). Chatting juga tidak butuh kecepatan koneksi yang tinggi serta bandwidth yang lebar. Emosi yang diharapkan pun bisa tercipta jika sang jurkam mampu mengemas setiap program partainya dengan bahasa yang menarik, tidak membosankan, serta mudah diterima dan dipahami netter. Di samping membuat website dan chatting, kampanye di internet bisa juga dilakukan melalui pengiriman e-mail, milis (mailing list), mesagging, serta aplikasi internet lainnya.
Di Amerika Serikat (AS), suasana pemilihan kandidat Presiden AS semakin hangat berkat adanya weblog di internet. Weblog mirip dengan website, namun lebih sederhana. Isinya berupa posting (pengiriman) berita terkini yang dikirim oleh para relawan yang disebut dengan blogger. Para blogger tersebut menulis berita atau komentar apa saja yang menyangkut kandidat Presiden AS, menit demi menit, sehingga warga negara AS bisa menilai dengan lebih jernih kualitas, kemampuan dan kredibilitas sang capres yang akan dipilihnya.
Isu yang kedua adalah aturan main kampanye di internet yang belum diatur secara tegas oleh KPU. Apakah kampanye lewat internet dapat dibenarkan? Kapan batas waktu atau masa kampanye lewat internet? Apa yang dibolehkan serta apa yang dilarang saat kampanye di internet? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini semestinya harus sudah terjawab oleh KPU. Mungkin bisa dimaklumi, KPU menghadapi keterbatasan waktu dengan beban kerja yang sangat berat. Namun, di masa depan hendaknya permasalahan seperti ini harus sudah diantisipasi jauh-jauh hari.
Cepat atau lambat, masyarakat akan semakin banyak menggunakan internet, intensitasnya pun cenderung meningkat. Internet bisa mengubah opini atau turut menjadi bagian dari pengambilan keputusan masyarakat terhadap suatu masalah, termasuk Pemilu 2004.